Sabtu, 12 Februari 2011

Konsep Pendidikan Al-Ghazali


BAB I
PENDAHULUAN

Al-Ghazali adalah seorang intelektual agung yang bersifat generis dengan keahlian yang multi dimensional,baik di bidang keagamaan,filsafat dan ilmu pengetahuan umum.generalisasi keahliannya itu menunjukkan keluwesannya dan mengungkap permasalahan dan ternyata dia mampu menyelesaikan pertentangan-pertentangan intelektual pada masanya dan melahirkan pemikiran baru dalam filsafat. Ilmunya yang telah terbukti kebenarannya di masa sekarang.
Sesungguhnya, Al-Ghazali seorang pakar pendidikan yang luas pemikirannya. Bahkan ia pernah berkecimpung langsung menjadi praktisi selain sebagai pemikir pendidikan, ia pula memikirkan soal-soal pendidikan, pengajaran dan metode-metodenya. Namun, berbagai pandangan dan teori pendidikannya tidak terhimpun dalam suatu kitab karena hampir didalam setiap kitabnya tidak ada yang spesifik untuk membahas pendidikan meski hampir dalam setiap karyanya selalu menyentuh aspek pendidikan.
Al-Ghazali mengemukakan sebagian pendapatnya mengenai pendidikan yang pada saat ini dipandang sebagai pendapat terbaru dalam pendidikan modern. Ia telah menganjurkan agar perbedaan indivudu ikut diperhatikan dalam pengajaran. Dari sinilah tampak oleh kita pentingnya aliran pendidikan Al-Ghazali.


RUMUSAN MASALAH
Dari pendahuluan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana riwayar hidup al-ghazali?
2.      Apa sasaran atau tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali?
3.      Apa kurikulum pelajaran menurut Al-Ghazali?
4.      Apa saja alat pendidikan menurut Al-Ghazali?





BAB II
PEMBAHASAN

A.   Riwayat Hidup Al-Ghazali
Imam al-ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450H. Bertepatan dengan 1050M di Ghazaleh, suatu kota kecil uang terletak di Tus, wilayah Khurasan, dan wafat di Tabristan wilauah propinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tagun 505H, bertepatan dengan 1 desember 1111M.
Al-Ghazali memulai pendidikanya di wilayah kelahirannya, Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengeyahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota terebut terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenring di dunia islam. Di koya Nisyafur inilah al Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwaimy, seorang ulama yang bermahab Ayafi;i yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur.
Di antara mata pelajaran yang dipelajari al Ghazali di kota tersebut. Adalah teologi, hukum islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu islam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian memengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya dikemudian hari. Hal ini anyara lain terlihay dari karya tulisnya yang dibuat dalam berbagai bidang dalam ilmu pengetahuan.
Karena demikin banyak keahliannya yang secara prima dikuasai al Ghazali, maka tidklah mengherankan jika kemudian ia menbapat bermacam gelar yang mengharumkan namanya, seperti gelar Hujjatul Islam (Pembela Islam), Syaikh al-Sufiyyin  (Guru Besar dalam Tasawuf), dan Imam al-Murabin (pakar Bidang Pendidikan).
Dalam pada itu sejarah filsafat islam mencatat bahwa al Ghazali pada mulanya sebagai orang yang ragu terhadap berbagai ilmu pengetaguan, baik ilmu yang dicapai mellui panca indera maupun akal dan al-Juwaini. Hal ini dsebabkan dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran tang saling bertebtabfab, sehingga dapatmembigungkan dalam menetapkan aliran mana yang betul-beyul benar di antara semua aliran.
Lebih lanjut al Ghazali tidak hanya menentang pengetahuan yang dihasilka akal pikiran, tetapi ia juga menentang pengetahuan yang dihasilkan panca indra. Menurutnya paca indra tidak dapat dipercaya karena mengandung kedustaan.
Pada akhir perjalanan intelektualnya, tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa syaknya yang lama menganggu diri al Ghazali. Dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan yang dicari-carinya. Pengetahuan mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya. Itulah yag membuat al Ghazali memperoleh keyaknannya kembali.[1]

B.     Sasaran atau Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melaliu pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.[2]
Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali, meliputi:
1.    Aspek keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang bepikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
2.    Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian kuat.
3.    Aspek ketuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[3]

C.    Kurikulum Pelajaran Menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
1.    Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
2.    Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3.    Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karma dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.[4]
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, yang mementingkan sisi-sisi yang faktual dalam kehidupan, yaitu sisi-sisi yang tak dapat tidak harus ada. Al-Ghazali juga menekankan sisi-sisi budaya, ia jelaskan kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Ia tekankan bahwa ilmu itu wajib dituntut bukan karena keuntungan hakikatnya, tetapi karena hakikatnya sendiri. Sebaliknya Al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai tasawuf dan zuhud.[5]
Kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
1.    Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
2.    Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnyabagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu tang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.

D.    Alat Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Alat pendidikan adalah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mempermudah pencapaian suatu tujuan pendidikan. Adapun pembahasannya dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Materi pendidikan
Mula-mula belajar membaca, menulis dan menghafalkan pelajaran-pelajaran itu dan kalau mungkin mengambil pengertian yang paling sederhana. Hal ini memiliki fungsi fundamental untuk dapat mempelajari berbagai disiplin ilmu pada jenjang pendidikanyang akan mereka lalui. [6]
2.      Metode pendidikan
Prinsip metodologi pendidikan modern selalu menunjukkan aspek berganda. Satu aspek menunjukkan proses anak belajar dan aspek lainnya menunjukkan aspek guru mengajar dan mendidik. Pembahasannya melalui:
a.         Asas-asas metode belajar, yaitu memusatkan perhatian sepenuhnya, mengetahui tujuan ilmu pengetahuan yang dipelajari, dan mempelajari ilmu pengetahuan dari yang sederhana kepada yang kompleks, serta mempelajari  ilmu pengetahuan dengan memperhatikan sistematika pembahasannya
b.        Asas-asas metode mengajar, yaitu dengan memperhatikan tingkat daya pikir anak, menerangkan pelajaran dengan cara yang sejelas-jelasnya, mengajarkan ilmu pengetahuan dari yang konkrit kepada yang abstrak, dan mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara berangsur-angsur.
c.         Asas-asas metode mendidik, yaitu dengan memberikan latihan-latihan, memberikan pengertian-pengertian dan nasihat-nasihat, dan melindungi anak dari pergaulan yang buruk.[7]
3.      Alat-alat pendidikan langsung
Alat pendidikan langsung di sini dapat diartikan sebagai tindakan atau langkah-langkah yang diambil oleh guru yang ditunjukkan kepada anak didik secara langsung untuk mencapai kelancaran proses pendidikan dan pengajaran.
a.    Alat pendidikan preventif
1)   Anjuran dan Perintah, sebagai pembentuk kesadaran dan pengertian menjalankan kewajiban sehingga kemudian akan tumbuh rasa senang melakukannya, kemudian dengan sendirinya anak melakukannya tanpa perintah melainkan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab.
2)   Larangan, untuk menghindarkan anak dari suatu perbuatan yang buruk dan dilarang agama.
3)   Disiplin, yaitu kesediaan untuk mematuhi peraturan yang baik, bukan hanya patuh karena tekanandari luar melainkan kepatuhan oleh adanya kesadaran tentang nilai dan pentingnya peraturan itu.

b.    Alat pendidikan kuratif
1)   Peringatan, ditujukkan pada anak yang telah melakukan kesalahan.
2)   Teguran
3)   Sindiran
4)   Ganjaran, sebagai imbalan terhadap prestasi yang dicapainya
Ada tiga bentuk ganjaran menurut Al-Ghazali, yaitu:
a)    Penghormatan (penghargaan), baik berupa kata-kata ataupun isyarat
b)   Hadiah, yaitu ganjaran berupa pemberian sesuatu yang bertujuan untuk menggembirakan anak
c)    Pujian dihadapan orang banyak, seperti dihadapan teman-teman sekelas atupun dihadapan orangtua /wali murid.
5)   Hukuman, suatu perbuatan di mana seseorang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran.[8]












BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.        Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali, meliputi:
a.       Aspek keilmuan
b.      Aspek kerohanian
c.      Aspek ketuhanan
2.        Kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a.    Kecenderungan agama dan tasawuf.
b.    Kecenderungan pragmatis
3.        Alat-alat pendidikan menurut Al-Ghazali berupa:
a.    Materi pendidikan
b.    Metode pendidikan
c.    Alat pendidikan langsung yang berupa preventiv dan kuratif
















DAFTAR PUSTAKA

Prof Dr. H. Abuddin Nata M.A,2005.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media        Pratama,
Sulaiman, Fathiya Hasan . Aliran-Aliran Dalam Pendidikan. Semarang: Dina Utama. 1993.
Zainuddin dkk.  Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara. 1991.


[1] Profesor DR.H. Abuddin Nata M.A, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005). Hlm.209-211
[3] Zainuddin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm 48-49.
[5] Fathiya Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan, (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm 29.
[6] Zainuddin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm 73-74.
[7] Ibid, hlm 75-82
[8] Ibid, hlm 82-86.

Rabu, 27 Oktober 2010

EPISTIMOLOGI




Nama : Khamidah Fauziyah
NIM   : 08410224
EPISTEMOLOGI
Epistemology adalah cabang dari filsafat yang secara khusus membahas “Teori tentang pengetahuan”.
Pembahasan dalam epistemology lebih terfokus pada:
1.      Sumber pengetahuan: berkaitan dengan akal pikir (rasionalism), indra (empirism), dan intuisi.
2.      Teori tentang kebenaran dan pengetahuan: berkaitan dengan pola korespondensi, koherensi, dan praktis pragmatis.
Tokoh-tokoh tentang epistemology:
1.      Plato (427-347 SM)
Sebagai peletak dasar idealism/rasionalism karena menurutnya pengamatan indrawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya berubah-ubah sehingga tidak dapat dipercaya kebenaranya. Ia lebih percaya pada dunia ide (rasio) bawaan ynag sudah dibawa mausia sejak lahir.
2.      Aristo teles (384-322 SM)
Tidak sependapat dengan plato karena menurtnya manusia memperoleh pengetahuan melalui proses abstraksi, karena dengan melakukan pengamatan yang terus menerus akal akan dapat melepaskan/mengbstraksikan idenya dari objek tersebut.
Akan tetapi epistemology yang hanya didasarkan kepada dunia ide dan pengamatan inderawi mengalami keterbatasan. Utuk mengatasinya, diperlukn perangkat yang ketiga, yaitu perangkat yang dapat mengakomodasi unsure rasa yaitu intuisi.
Epistemology, yang dibangun oleh Plato dan Aristo Tele situ kemudian dipahami dan diambil oleh pemikir-pemikir muslim seperti Al-Kindi, Ibn Sina dan Ibn Hazm.
Menurut Al-Ghazali pengetahuan dapat diperoleh melalui rasio dan indera, tetapi paling tinggi adalah pengetahuan melalui kasyf/intuisi. Epistemology Al-Ghazali disambut baik didunia islam bagian Timur. Epistemology Al-Ghazali ini bersifat empiric transcendental.
Epistemologi yang semula berkembang di Yunani terutama dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang bersifat rasional spekulatif, kemudian dikembangkan oleh Al-Kindi, al-farabi dan Ibn Sina menjadi rasional empiric, dan akhirnya sampai pada ibn Rusyd menjadi empiric eksperimental. Tetapi itu semua tidak begitu mencukupi untuk dijadikan kerangka teori dan alat analisis terhadap epistemology pemikiran Fazlur Rahman.
Setelah melalui proses panjang, dapat ditemukan bahwa epistemology yang paling tepat untuk melihat epistemology Rahman yaitu epistemology Muh. Abid-al-Jabiri.
Rahman: dilahirkan pada dunia islam bagian Timur yaitu Pakistan . Lebih kental dengan tradisi Inggris karena ia kuliah dan mulai meniti karir akademiknya disana, disamping utu secra cultural lebih dekat dengan Inggris. Berangkat dari sejarah yng bercorak filsafat.
Al-jabiri: dilahirkan pada dunia bagian Barat yaitu Maroko. Lebih kental dengan tradisi Perancis. Berangkat dari sejarah yang bercorak Antropologi.
Dari semua yang diatas, ada satu hal ynag sama-sama mengusik pikiran keduanya adalah “Masalah Kritis Pemikiran di kalangan Umat Islam” hanya bedanya Rahman mencapai puncak akademik pada bidang phylosopy of knowledge sedang Al-Jabiri pada anthropology of knowledge.

Nama : Dwi Refiningsih
NIM   : 08410052
No. Absen : 9
EPISTEMOLOGI BAYANI
Bayani merupakan metode pemikiran yang berpngkal dari bahasa arab yang menekankan otoritas teks (nash), dan dijustifikasikan oleh akal kebahasaan. Pendekatannya berupa lughowi atau melalui bahasa. Produk dari bayani adalah nahwu, fikih dan ushul fikih, kalam dan balaghah. Epistemologi bayani menggunakan metode rasional filsafat, meski demikian Epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam Epistemologi bayani fungsi akal hanya pengawal yang terkandung didalamnya. Untuk itu bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa qiyas, istinbat, tajwis, dan ‘adah sebagai metodenya.
Epistemologi Bayani dapat dipahami dari 3 segi, yaitu pertama segi aktivitas pengetahuan, bayani berarti ‘tampak-menampakkan’ dan ‘faham-memahamkan’, kedua diskursus pengetahuan, dunia pengetahuan yang dibentuk oleh ilmu arab islam murni. Ketiga, sistem pengetahuan, kumpulan dari prinsip-prinsip, konsep-konsep dan usaha-usaha yang menyebabkan dunia pengetahuan terbentuk tanpa disadari. Menurut Al-Syafi’i bayani terdapat dua dimensi yang fundamental, yakni usul (prinsip-prinsip primer) dan al-jahiz. Pendukung keilmuan epistemology bayani adalah fuqaha, usuliyun, dan mutakalimun.

Nama : Mursyidah
NIM   : 08410057
EPISTEMOLOGI IRFANI
Irfani menganggap bahwa tidak hanya indera yang terbatas, tetapi akal juga terbatas.objek yang kita tangkap itu adalahobjek yang selalu berubah. Begitu juga dengan akal, akal hanya dapat memahami suatu objek bila Ia mengkonsentrasikan dirinya pada objek itu.
Irfani adalah kemampuan menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang di dalam Islam di sebut Suluk secara lebih spesifik disebut riyadlah secara lebih umum metode ini diajarkan di dalam thariqat dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan amat meyakinkan. Pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal melainkan lewat hati

Epistemologi Burhani

NAMA: Mita Syakirina
NIM:08410008
NO ABS:3
EPISTEMOLOGI BURHANI


             al-Burhan berarti argumen yang pasti dan jelas. Dalam pengertian yang sempit, burhani adalah aktivitas pikir untuk menetapkan kebenaran pernyataan melalui metode penalaran. seang dalam pengertian yang luas, burhani adalah setiap aktivitas untuk menetapkan kebenaran pernyataan.
              Sebagai aktivitas pengetahuan, burhani adalah episteme yang berargumentai secara deduktif, sedangkan sebagai diskursus pengetahuan, burhani merupakan dunia pengetahuan falsafah yang masuk ke budaya Arab Islam melalui terjemahan dari karya-karya Aristoteles. Untuk mengetahui suatu kebenaran, epistemologi Burhani menggunakan pendekatan empirisme yaitu pendekatan yang benar-benar bisa dibuktikan.
               Menurut al-Jabiri ada beberapa tokoh yng menerapkan dasar-dasar episteme burhani yaitu Ibnu Rusyd, al-Syatibi, dan Ibnu Khaldun. Menurut Ibnu Rusyd ia berusaha menerapkan dasar-dasar episteme dengan cara membela argumen secara kausalitas. Ia menolak pandangan Asy'ariyah tentang prinsip tajwiz yang dianggap mengingkari hukum kausalitas. Begitu juga dengan al-Syatibi yang di amini-nya dalam disiplin usul fikih. Sedangkan Ibnu Khaldun, ia menyingkap sejumlah tabir riwayat hidup para pendahulu, kemudian di analisis satu peristiwa ke peristiwa berikutnya. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa Ibnu Khaldun ingin menjadikan sejarah sebagai ilmu burhani.